Di Tengah Wacana Beralih ke Brand Lokal, Pedagang Pasar Senen Pilih Bertahan dengan Bisnis Thrifting

Slot Deposit Dana — Wacana pemerintah untuk mengalihkan pedagang pakaian bekas (thrifting) di Pasar Senen ke penjualan brand lokal ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di lapangan, para pedagang justru menunjukkan ketidakpercayaan dan keengganan untuk meninggalkan bisnis yang telah menghidupi mereka selama bertahun-tahun.

Rahmat, salah satu pedagang di Pasar Senen, mengaku sudah bosan dengan berbagai isu yang kerap memojokkan bisnis thrifting. Menurutnya, isu penutupan atau pengalihan usaha seperti ini sudah kerap muncul sejak era 90-an, namun hingga kini lapaknya masih tetap bertahan.

“Dari dulu isunya mau ditutup. Semua pernah kena isu, sampai sekarang masih jalan,” ujar Rahmat dengan nada tenang, menunjukkan pengalamannya yang panjang di bisnis ini.

Ketidakcocokan Selera dan Kekhawatiran Harga

Salah satu akar penolakan datang dari keraguan apakah brand lokal dapat memenuhi ekspektasi pembeli setia thrifting. Eneng, pedagang yang khusus menjual crewneck bekas, menyoroti perbedaan selera dan kualitas.

“Pembeli rata-rata milih bahan. Nah, bahan lokal gimana? Kalau pakaian second, modelnya beda, lebih murah. Kalau brand lokal kita gak tahu harganya gimana,” beber Eneng yang telah lima tahun bergelut di bisnis ini.

Bagi Eneng dan pedagang lainnya, daya tarik thrifting tidak sekadar pada harga murah, melainkan pada karakteristik unik setiap barang, merek-merek tertentu, dan kualitas bahan yang sudah teruji.

Wacana Pemerintah vs Realitas di Lapangan

Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian UMKM telah menyiapkan 1.300 brand lokal sebagai alternatif bagi para pedagang. Menteri UMKM Maman Abdurrahman menegaskan bahwa strategi ini bukanlah “penertiban”, melainkan upaya transformasi dengan pendekatan fasilitasi.

Deputi Bidang Usaha Kecil Kementerian UMKM, Temmy Satya Permana, juga mengklarifikasi bahwa program ini tidak bermaksud mengganti para pedagang. “Kami menyiapkan 1.300 brand untuk dipilih oleh para penjual, pedagang pakaian bekas di Senen,” katanya.

Namun, komunikasi ini tampaknya belum sepenuhnya sampai ke lapisan pedagang. Lukman, penjual berbagai jenis celana, mengkritik proses yang berjalan sepihak.

“Gak segampang itu. Kalau mau masuk local brand pasti harus ada perundingan dulu sama orang-orang sini kan,” ujarnya.

Kekhawatiran Masa Depan dan Proses Transisi

Yang paling dikhawatirkan para pedagang adalah dampak ekonomi jika transisi dipaksakan secara tiba-tiba. Lukman mengungkapkan kecemasannya jika kebijakan itu gagal dan berujung pada penutupan paksa.

“Kami cari makan dimana? Kan sebelum gue lahir juga udah ada thrifting,” tuturnya.

Ironisnya, menurut Rahmat, setiap kali wacana pembatasan thrifting mengemuka, justru menguntungkan pedagang dalam jangka pendek. Pasalnya, importir cenderung menahan pasokan atau menaikkan harga, sehingga harga barang di pasar pun ikut naik.

Dilema ini menunjukkan bahwa transformasi Pasar Senen membutuhkan pendekatan yang lebih holistik—bukan sekadar mengganti produk, tetapi memahami ekosistem, selera pasar, dan yang terpenting, melibatkan para pedagang sebagai pelaku utama dalam setiap proses kebijakan.