Bocoran HK — Pengadilan Tipikor Bandung kembali menggelar persidangan yang mengungkap praktik menyedihkan di dunia pendidikan. Empat orang saksi diperiksa dalam kasus dugaan korupsi dana Program Indonesia Pintar (PIP) yang seharusnya menjadi hak siswa-siswi SMA Negeri 7 Cirebon.
Para saksi yang memberikan keterangan antara lain Agus Auliana (tenaga honorer sekolah), Ahmad Humed (swasta), Mirwan Yuswanto (staf Komisi X DPR RI), dan Anita (bendahara sekolah). Sidang yang dipimpin JPU ini mengungkap skema sistematis penyalahgunaan dana bantuan pendidikan tersebut.
Modus Pemotongan dan Pengumpulan Rekening Siswa
Kasus ini berawal dari aduan di Februari 2025, di mana setiap penerima dana PIP aspirasi anggota DPR RI di sekolah tersebut dipotong sebesar Rp200.000. Dari total 513 siswa penerima, tidak satu pun yang menerima dana secara penuh.
Alih-alih diberikan langsung, pencairan dana justru dikelola oleh oknum sekolah. Mereka mengumpulkan kartu ATM dan buku tabungan siswa, sebuah prosedur yang tidak seharusnya terjadi. Kejaksaan Negeri Kota Cirebon pun bergerak cepat dengan menetapkan empat tersangka: Roni Aryanto (utusan partai politik), Tofik (Wakil Kepala Sekolah), Rachmasari (staf kesiswaan), dan Imam Setiawan (Kepala Sekolah).
Aliran Uang Hasil Potongan Ilegal
Dalam persidangan, terkuak aliran uang yang jelas. Saksi Anita, sang bendahara, mengaku diperintahkan untuk memindahkan seluruh dana dari rekening siswa—yang berjumlah Rp955,8 juta—ke rekening pribadi tersangka Rachmasari.
Dari sana, dilakukan pemotongan ilegal Rp200.000 per siswa, menghasilkan dana ‘hasil potongan’ sebesar Rp102 juta. Separuh dari uang ini, yakni Rp51 juta, kemudian diserahkan kepada tersangka Roni dengan dalih “tanda terima kasih untuk partai” yang dianggap memberikan aspirasi dana.
Tersangka Taufik mendapat bagian Rp50 juta dari bagi hasil dengan Roni, yang kemudian dibagikan lagi kepada Kepala Sekolah Imam Setiawan dan Rachmasari.
Pembelian AC dan Barang Pribadi Kepala Sekolah
Lebih memprihatinkan lagi, sisa dana sebesar Rp853 juta yang masih berada di rekening Rachmasari digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk membeli AC dan peralatan pribadi untuk penggunaan Kepala Sekolah Imam Setiawan.
Saksi dari pihak DPR RI, Mirwan Yuswanto, mengaku hanya bertugas sebagai operator input data dan menyatakan tidak tahu menahu soal pemotongan tersebut. Sementara Ahmad Humed mengaku hanya membantu mengajukan nama siswa tanpa kaitan dengan partai, meski ia membantu Roni.
Sidang ini bukan hanya tentang angka, tetapi tentang pengkhianatan terhadap amanah dan masa depan siswa. Kasus ini menjadi cambuk bagi sistem pengawasan dana bantuan pendidikan, menunjukkan bagaimana niat baik pemerintah bisa dibelokkan untuk kepentingan segelintir orang yang tidak bertanggung jawab.